
PONTIANAK – Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan, termasuk kabupaten Melawi, menuai penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Salah satunya datang dari tokoh muda Dayak Kalimantan Barat, Stevanus Febyan Babaro, yang secara tegas menyatakan bahwa Kalbar belum siap dan tidak membutuhkan energi nuklir sebagai solusi energi nasional.
Menurut Stevanus, ekspos besar-besaran atas kekayaan alam di Kalbar, khususnya uranium, justru menjadi undangan terbuka bagi pihak luar untuk mengeruk potensi tersebut, sementara masyarakat lokal belum punya kemampuan maupun infrastruktur yang memadai untuk mengelolanya secara mandiri.
“Kita ini seolah-olah bilang: Ayo rampok kami! Padahal kita belum siap. Baik secara finansial, SDM, maupun teknologi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti mentalitas para pejabat, baik eksekutif maupun legislatif, yang dinilai lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kesejahteraan rakyat.
“Mereka mengeruk kekayaan alam seolah-olah atas nama rakyat. Tapi banyak bukti bahwa semua itu hanya untuk isi kocek sendiri,” katanya, merujuk pada kasus-kasus seperti konsesi tambang dan konflik kepentingan di daerah.
Stevanus menegaskan bahwa pengembangan energi harus mengutamakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pangan dan bahan bakar minyak (BBM), bukan memaksakan proyek yang penuh risiko tinggi seperti PLTN.
“Kita tidak kekurangan listrik, yang mahal iya. Tapi bukan berarti kita butuh nuklir. Kalau energi, fokus dulu ke BBM yang masih mahal dan pangan yang belum stabil,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa jika proyek PLTN terus didorong tanpa pertimbangan kesiapan dan kedaulatan masyarakat, maka rakyat lokal hanya akan jadi penonton — atau lebih buruk lagi, hanya jadi satpam di tanah sendiri.
“Ujung-ujungnya yang punya pabrik orang luar, yang punya dana orang luar, kita cuma dilibatkan sebagai penjaga. Ini siasat elit, bukan demi rakyat,” ujarnya.
Atas dasar itu, Stevanus menyerukan penolakan keras terhadap rencana pembangunan PLTN di Kalimantan Barat dan mendesak masyarakat untuk solid menyuarakan penolakan ini sejak dini, sebelum semuanya terlambat.
“Kalau kita diam, mereka anggap setuju. Padahal mayoritas masyarakat pasti menolak. Ini soal keselamatan, soal masa depan, dan soal kedaulatan kita,” tutupnya.