
PONTIANAK – Rapat lanjutan gabungan antara berbagai Organisasi Kemasyarakatan dan Kepemudaan (Ormas dan OKP) Dayak kembali digelar di Rumah Betang Jl. Letnan Jendral Sutoyo – Pontianak. Agenda utama kali ini membahas keputusan akhir terkait sanksi hukum adat terhadap Riezky Kabah, seorang pengguna TikTok yang beberapa waktu lalu membuat konten berisi penghinaan terhadap suku Dayak dan memicu kemarahan masyarakat luas di Kalimantan Barat.
Dalam rapat yang dihadiri oleh para ketua dan perwakilan organisasi, tokoh adat, serta pemangku kepentingan adat ini, pembahasan dilakukan secara mendalam dan terarah. Fokus utama rapat adalah menetapkan bentuk sanksi hukum adat, rincian pasal-pasal adat yang akan diterapkan, serta besaran biaya denda adat yang harus ditanggung oleh pihak keluarga pelaku.
Seluruh peserta rapat menyatakan sepakat untuk menjatuhkan sanksi adat yang berat, mengingat perbuatan pelaku sudah menyinggung kehormatan dan martabat suku Dayak secara luas. Selain itu, mereka menegaskan bahwa tidak akan ada toleransi atau upaya keringanan bagi pelaku, meskipun pihak keluarga mencoba meminta pengampunan.

Hasil Kesimpulan Rapat
Dalam kesimpulan hasil rapat, disebutkan bahwa sanksi adat terhadap pelaku akan mencakup empat unsur utama pelanggaran adat, yaitu:
1. Capak Molot, atau ucapan menghina dan merendahkan martabat suku Dayak.
2. Penghinaan terhadap ikon suku Dayak, yakni Rumah Radakng sebagai simbol kebersamaan dan kehormatan;
3. Pencemaran nama baik masyarakat Dayak; dan
4. Katarajunan, yaitu sikap berlebihan, menantang, dan tidak menghormati adat.
Sanksi adat tersebut akan diserahkan sepenuhnya kepada para tetua adat yang berwenang untuk menentukan bentuk hukuman serta besaran denda adat sesuai hukum adat Dayak Kanayatn. Rapat juga menegaskan bahwa hukum adat akan tetap berjalan beriringan dengan hukum negara, sebagai simbol bahwa masyarakat Dayak menjunjung tinggi kearifan lokal tanpa mengabaikan hukum positif.
Pernyataan Para Tokoh Ormas dan OKP Dayak
Beberapa tokoh penting memberikan pandangan dan sikap mereka dalam rapat tersebut.
Iyen Bagago, Ketua Umum Mangkok Merah Kalimantan Barat (MMKB) menegaskan bahwa tindakan pelaku tergolong sangat berat.
“Tindakan yang dilakukan oleh pelaku menyangkut dua kriteria dalam kategori Capal Mulot, yaitu fitnah dan penghinaan,” ujarnya.

Menurutnya, dua unsur itu sudah cukup kuat untuk menjatuhkan sanksi adat yang signifikan, karena telah mencederai kehormatan suku Dayak dan memicu kegelisahan di tengah masyarakat.
Sementara itu, Serba, salah satu pengurus MMKB, menyampaikan perasaan emosionalnya atas ucapan pelaku yang dinilai sangat melecehkan.
“Statement yang paling menyakiti perasaan saya bukan dari konten yang dibuat pelaku, tetapi dari komentarnya yang berkata: ‘Monyet-monyet turun dari hutan melawan satu boti.’ Kalimat ini sangat membuat saya sakit hati dan emosi,” katanya dengan tegas.
Ia menilai pernyataan itu bukan hanya penghinaan personal, tetapi penghinaan terhadap seluruh masyarakat Dayak yang hidup dengan nilai-nilai kesopanan dan kehormatan.
Dari pihak organisasi kepemudaan, P. Bungsu, perwakilan OKP Ujung Pandang Batang Tarang, menyampaikan bahwa pihaknya memberikan dukungan penuh terhadap keputusan hukum adat.
“Terkait kasus ini, kami selaku OKP dari Ujung Pandang Batang Tarang menyerahkan penuh kepada pihak yang berwenang dalam urusan hukum adat ini, terutama terkait sanksi hukum adat apa yang cocok untuk dikenakan kepada pelaku,” ujarnya.
Senada dengan itu, Herkulanus Dedi, Ketua Umum Tangkitn Janawi Nusantara, menilai penyelesaian melalui jalur adat merupakan langkah terbaik.
“Kami menyerahkan sepenuhnya kepada pengurus adat terkait masalah ini, agar persoalan dapat segera diselesaikan dan pelaku mendapatkan sanksi yang sesuai dengan perbuatan yang telah ia lontarkan,” jelasnya.
Dukungan serupa juga datang dari Epri, pengurus Pemuda Dayak Kalimantan Barat (PDKB), yang menegaskan pentingnya menghormati kewenangan pemangku adat.
“Saya sepakat dengan semua usul kawan-kawan. Kami juga menyerahkan penuh masalah ini kepada pihak pemangku adat yang lebih berwenang dan lebih memahami sanksi-sanksi apa yang dapat dikenakan,” katanya.
Dalam rapat itu, Sugiarto, pengurus MMKB, juga menekankan bahwa pelaksanaan hukum adat tidak boleh dikompromikan.
“Tidak ada toleransi terhadap pelanggaran hukum adat. Kita bukan berpihak pada kekuasaan, tetapi berpihak pada kearifan lokal. Kita harus memiliki kekuatan yang sama agar adat ini tetap dihormati. Jangan sampai ada lagi pihak pelaku yang mencoba mengelak. Hukum adat wajib diberlakukan, walaupun hukum positif juga sedang berjalan,” ujarnya tegas.

Martinus, Koordinator Hukum Adat Dewan Adat Dayak Kota Pontianak, menilai tindakan pelaku sudah berada pada level pelanggaran yang paling fatal.
“Apa yang dilakukan oleh pelaku sudah sangat fatal karena telah menyakiti masyarakat luas. Ada empat kriteria pelanggaran yang dilakukan, yaitu Capal Mulot, penghinaan tempat, katarajunan, dan pencemaran nama baik. Penghinaan terhadap suku dan tempat yang menjadi ikon bagi orang Dayak sangatlah fatal. Maka, sanksi hukum adat yang diberikan harus tegas, sesuai, dan dapat menjadi pembelajaran bagi pelaku,” terangnya.
Sementara itu, Yohanes Nenes, S.H., Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak, menutup rapat dengan menegaskan bahwa hukum adat dan hukum negara akan berjalan bersama.
“Segala informasi terkait tuntutan dan rincian hukum adat akan disampaikan pada hari Kamis, 9 Oktober 2025. Hukum pidana silakan tetap berjalan, tetapi hukum adat juga wajib dilaksanakan karena adat ini penting bagi kami dalam menjunjung harkat dan martabat suatu suku,” ungkap Yohanes.
Komitmen Bersama Menjaga Marwah Adat
Rapat ini juga menghasilkan komitmen bersama dari seluruh OKP dan Ormas Dayak yang hadir. Mereka sepakat bahwa pelaksanaan sanksi adat harus segera dilaksanakan guna memperkuat posisi hukum adat Dayak di mata publik dan memberikan efek jera bagi siapapun yang mencoba merendahkan kehormatan suku Dayak.
Ketua DAD Kota Pontianak juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah berperan aktif dalam pengawalan kasus ini.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Ketum Mangkok Merah, Bapak Iyen Bagago, serta seluruh Ormas dan OKP Dayak yang mendukung dan telah mewakili masyarakat Dayak Kalimantan Barat untuk melaporkan serta mengawal langsung kasus penghinaan oleh akun TikTok Riezky Kabah,” ujarnya.

Sebagai tindak lanjut, rapat menetapkan bahwa jadwal dan lokasi pelaksanaan prosesi hukum adat akan diumumkan secara resmi pada Kamis, 9 Oktober 2025. Setelah seluruh tahapan disepakati, akan dilakukan kunjungan resmi ke Polda Kalimantan Barat untuk berkoordinasi terkait pelaksanaan hukum adat tersebut.
Melalui rapat lanjutan ini, seluruh elemen masyarakat Dayak menegaskan bahwa penegakan hukum adat bukan sekadar hukuman, tetapi juga simbol kehormatan, keadilan, dan jati diri suku Dayak di tengah tantangan modernitas dan arus media sosial yang kian bebas.