
PALANGKA RAYA – Upaya untuk mencari keadilan, IPTU Gusti Astrid Rizkianti Dwi Ayunda, seorang anggota Polri, melalui kuasa hukumnya Apriel H. Napitupulu, S.H. dan Daniel Olan G. S.H., mmpertanyakan kejelasan proses hukum atas laporan tuntutan terkait dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta pelanggaran etik yang dilakukan oleh suaminya, IPTU Syaiful.
Menurut keterangan resmi dari kuasa hukum, seperti dikutip dari media potretkalteng.com, klien mereka telah menjadi korban KDRT sejak tahun 2013. Terakhir, kekerasan fisik yang juga turut melibatkan anak kandung mereka, inisial AD, kembali terjadi pada 8 April 2024. Perbuatan tersebut dinilai melanggar Pasal 13 huruf (h) Perpol No. 7 Tahun 2022 yang secara tegas melarang anggota Polri melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Penetapan tersangka terhadap IPTU Syaiful telah dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan No. B/243/IV/RES.1.24/2025/Ditreskrimum tanggal 24 April 2025. Ia diduga melanggar Pasal 44 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, serta Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman maksimal mencapai lima tahun penjara serta denda hingga Rp72 juta.
Namun, hingga rilis ini diterbitkan, penahanan terhadap tersangka belum dilakukan oleh penyidik Subdit 4 Renakta. Hal ini dinilai menimbulkan pertanyaan besar terhadap kesetaraan dalam penegakan hukum, mengingat IPTU Syaiful masih aktif menjabat sebagai Panit 2 Unit 3 Subbidpaminal Bidpropam Polda Kalimantan Tengah—posisi yang dikenal sebagai garda etika dan pengawas internal kepolisian.

Penasihat hukum menekankan bahwa berdasarkan KUHAP, ancaman hukuman yang dihadapi sudah memenuhi syarat objektif untuk penahanan. Oleh karena itu, mereka mendesak agar Direktorat Kriminal Umum Polda Kalimantan Tengah segera melakukan tindakan hukum tegas dan menahan tersangka.
Selain itu, IPTU Syaiful diketahui telah dikenai hukuman disiplin melalui KEP/15/X/2024 tertanggal 22 Oktober 2024, namun klien mereka tidak pernah menerima salinan keputusan tersebut. Mereka juga menyoroti kurangnya transparansi dari Bidpropam Polda Kalimantan Tengah terkait laporan yang diajukan oleh klien mereka pada 24 Juni 2024 yang tidak direspons dengan penerbitan Surat Tanda Terima Laporan.
Di sisi lain, Gusti Astrid juga menghadapi laporan balik dari suaminya atas tuduhan penggelapan dan pencurian mobil, yang diduga sebagai bentuk serangan balik emosional terhadap pelaporan kasus KDRT.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, kuasa hukum mendesak agar:
1. Bidpropam segera memproses pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh IPTU Syaiful.
2. Salinan keputusan disiplin diberikan kepada klien mereka.
3. Prinsip keterbukaan, kesetaraan hukum, dan perlindungan terhadap korban, khususnya perempuan dan anak, ditegakkan secara konsisten.
Mereka juga mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama mengawal proses hukum secara adil, transparan, dan akuntabel demi keadilan bagi korban yang juga merupakan anggota Polri.- adm