
Seorang bocah menemukan jam tangan mewah milik Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, yang sempat hilang di tengah kericuhan. Jam tangan itu bukan sembarang barang, melainkan Richard Mille tipe 40-01 McLaren Speedtail yang harganya menembus Rp11,4 miliar.
Jam tangan langka tersebut akhirnya dikembalikan warga dengan disaksikan pengurus lingkungan. Sahroni pun menyampaikan rasa terima kasih atas kejujuran masyarakat. Namun, di luar kabar pengembalian itu, publik justru menyoroti sisi lain yang lebih tajam daripada kilau jam tangan mewah tersebut.
Banyak warga mengaitkan nilai fantastis jam tangan itu dengan kondisi sosial yang serba sulit. Rp11,4 miliar disebut bisa membangun ratusan rumah layak huni, membantu biaya pengobatan pasien miskin, membeli ribuan sepatu untuk anak sekolah yang seragamnya lusuh, menyediakan susu untuk bayi kurang gizi, atau memberi modal usaha bagi UMKM. Perbandingan ini membuat publik geleng-geleng kepala, melihat betapa jauhnya jarak antara kemewahan elit dan realitas keras rakyat kecil.

Pengingat: Senewah apa pun barang atau harta, dengan sekejap ia bisa berpindah tangan. Insiden jam tangan Rp11,4 miliar ini bukan sekadar kabar kriminal, tetapi simbol nyata kesenjangan sosial. Jam tangan itu memang kembali ke pemiliknya, tapi ceritanya akan selamanya menjadi pengingat bahwa simbol kemewahan rapuh ketika berhadapan dengan realitas publik yang masih berjuang untuk kebutuhan dasar.
Kini, jam tangan tersebut kembali menghiasi pergelangan tangan seorang pejabat. Namun di luar itu, kisahnya telah membuka perbincangan lebih luas—tentang bagaimana kekayaan bisa mencolok di tengah penderitaan rakyat, dan bagaimana kejujuran seorang warga sederhana bisa menjadi nilai yang jauh lebih mahal daripada jam tangan miliaran rupiah.