
PONTIANAK – Gelombang penolakan terhadap program transmigrasi kembali menguat di berbagai wilayah Kalimantan Barat. Dalam beberapa hari terakhir, berbagai elemen masyarakat seperti pemuda Dayak, organisasi kemahasiswaan, tokoh adat, hingga komunitas multietnis menyatakan sikap tegas: transmigrasi tidak boleh dilanjutkan jika hanya menambah ketimpangan sosial dan mengabaikan hak warga lokal.
Salah satu suara terdepan datang dari Pemuda Dayak Kalbar. Melalui berbagai aksi dan pernyataan publik, mereka menuntut pemerintah pusat agar menghentikan skema transmigrasi yang lebih banyak menguntungkan pendatang daripada masyarakat adat yang selama ini tinggal dan menjaga tanah Kalimantan.
Dukungan terhadap penolakan ini juga datang dari kalangan intelektual muda. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Sambas menyoroti bahwa transmigrasi berpotensi merusak tatanan sosial dan ekosistem lokal. Mereka menilai, pembukaan lahan skala besar untuk pemukiman transmigran bisa memperparah kerusakan hutan dan mempersempit akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Di wilayah lain seperti Sintang, tokoh lokal Petrus Sabang Merah juga mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah dalam mengambil kebijakan yang menyangkut lahan dan identitas masyarakat adat. “Jangan sampai program ini menciptakan konflik baru,” katanya dalam siaran media sosialnya.
Poin-poin Penting:
Tuntutan Keadilan Sosial: Warga lokal meminta agar mereka diprioritaskan dalam pembangunan dan distribusi lahan.
Kekhawatiran Ekologis: Pembukaan lahan transmigrasi dinilai mengancam hutan dan ekosistem Kalbar.
Solidaritas Multietnis: Tidak hanya masyarakat adat, tapi komunitas lintas budaya juga ikut menolak program ini.
Aksi Damai: Penolakan disuarakan melalui unjuk rasa, pernyataan terbuka, hingga kampanye daring.
“